Indonesia Kekurangan Tenaga Kesehatan, begitu juga Bandung
Banyak nakes yang lama menjalani tugas dengan sistem kontrak. Status ini berdampak pada kesejahteraan nakes. Akhirnya berpengaruh juga pada kualitas layanan.
Penulis Iman Herdiana21 Desember 2022
BandungBergerak.id - Jumlah tenaga kesehatan (nakes) di Indonesia jauh dari kata ideal. Bahkan bisa dibilang kritis. Kekurangan jumlah nakes ini terjadi juga di Kota Bandung. Baru-baru ini Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung mengumumkan membutuhkan sekitar 1.500 tenaga kesehatan (nakes).
Menghadapi kebutuhan nakes, tahun ini Kota Bandung baru bisa merekrut 398 nakes, itu pun melalui skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
"Kita butuh 34 orang perawat, 36 orang bidan, dan 66 orang perawat terampil. Mungkin sekarang baru dapat 390-an orang. Bisa jadi tahun depan kita ajukan lagi, dipenuhi secara bertahap," ungkap Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kota Bandung, Adi Junjunan, dalam siaran pers.
Skema PPPK sebenarnya tidak ideal bagi nakes yang mendambakan diangkat menjadi ASN. Sebab, banyak nakes yang terlalu lama menjalani tugas dengan sistem PPPK yang statusnya kurang lebih sama dengan tenaga kerja kontrak. Status ini berdampak pada kesejahteraan nakes sendiri maupun keluarganya.
Masalah status hubungan kerja dan kesejahteraan sempat meletuskan aksi demonstrasi nakes pada 5 Agustus 2022. Saat itu ribuan para tenaga honorer dari garda kesehatan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Honorer Fasyankes (FKHF) Jawa Barat, mengepung Gedung Sate, Bandung. Aksi demonstrasi ini intinya menuntut kesejahteraan.
Menurut data Pendamping Perawat Honorer dan Swasta (PPHS) DPW PPNI Jawa Barat, jumlah honorer di fasyankes se-Jawa Barat lebih dari 17.000 orang, baik honorer nakes maupun nonnakes. Jumlah tersebut akan semakin membengkak karena belum menghitung jumlah bidan yang tersebar di seluruh pelosok Jawa Barat.
Aksi demonstrasi nakes juga dipicu adanya kesenjangan antara tenaga honorer dan nonhonorer (ASN), terutama di daerah. Perbandingan jumlah honorer dan ASN bisa mencapai 40:50 persen, yakni lebih banyak honorernya ketimbang ASN. Sementara beban kerja mereka sama.
Baca Juga: Data Tenaga Kesehatan di Rumah Sakit Kota Bandung Tahun 2014-2021: Jumlahnya Meningkat di Tahun Pagebluk
Tenaga Kesehatan dan Guru Honorer Jawa Barat Bergerak
Di Masa Pandemi Dipuji-puji, Kini Honorer Nakes dan Nonnakes se-Jawa Barat Merasa Dizalimi Birokrasi
Krisis Jumlah Nakes
Arman Rifat Lette, dalam Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia Agustus 2020: “Jumlah dan Kebutuhan Sumber Daya Manusia Kesehatan di Fasilitas Kesehatan Kota Kupang” (Universitas Citra Bangsa, diakses Rabu, 21 Desember 2022), mengatakan Indonesia termasuk dalam 57 negara yang menghadapi krisis tenaga kesehatan. Padahal 80 persen keberhasilan pembangunan kesehatan ditentukan SDM kesehatan.
Menurut Arman, secara nasional jumlah tenaga kesehatan belum memenuhi target per 100.000 penduduk. Jumlah dokter spesialis baru mencapai 7,73 dari target 9, dokter umum mencapai 26,3 dari target 30, perawat mencapai 157,75 dari target 158, dan bidan 43,75 dari target 75 per 100.000 penduduk.
Pada tahun 2025 diharapkan ketersediaan tenaga dokter spesialis mencapai 28 per 100.000 penduduk, dokter umum 112 per 100.000 penduduk, dokter gigi 11 per 100.000 penduduk, perawat 158 per 100.000 penduduk, bidan 75 per 100.000 penduduk, sanitarian 35 per 100.000 penduduk, tenaga gizi 56 per 100.000 penduduk.
“Namun berdasarkan proyeksi kebutuhan tenaga kesehatan maka diperkirakan masih akan ada kekurangan tenaga kesehatan sekitar 40-50 persen sampai tahun 2025, khususnya dokter umum dan dokter spesialis,” tulis Arman.
Pemerataan SDM kesehatan juga menjadi masalah. Arman mencatat, lebih banyak SDM kesehatan yang bekerja di kota-kota besar sedangkan di daerah pelosok cenderung lebih sedikit.
Dilihat dari wilayah, menurut Arman, berdasarkan penyebaran tenaga kesehatan di Puskesmas Indonesia lebih terkonsentrasi di wilayah Indonesia bagian barat di bandingkan wilayah tengah dan timur. Hal ini disebabkan karena jumlah penduduk yang lebih banyak dan fasilitas kesehatan di wilayah Indonesia bagian barat lebih lengkap dibandingkan wilayah bagian tengah dan timur Indonesia.
Konsekuensinya berdampak pada terhambatnya pembangunan kesehatan yang bertujuan untuk memberikan pelayanan berkualitas yang adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selanjutnya, kurangya jumlah SDM kesehatan berhubungan dengan kualitas/mutu pelayanan di fasilitas kesehatan. Kurangnya jumlah tenaga kesehatan dibanding puskesmas yang ada, menjadikan beban kerja tenaga kesehatan puskesmas semakin tinggi dan tidak sesuai dengan tupoksi serta latar belakang pendidikannya.
“Sehingga pada akhirnya berdampak pada menurunnya kualitas pelayanan di puskesmas,” kata Arman.